HaulKH Abdul Hamid Pasuruan ke 38. Sejarah 10 NOVEMBER ( HARI PAHLAWAN ) Biografi KH Abdul Hamid KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur.
- Kenali Kyai Hamid Dan Keturunan Kyai Hamid Pasuruan! Anda pastinya telah melakukan banyak hal dari pagi hingga malam. Namun, masih ada hal lain yang ternyata perlu Anda lakukan. Tentu saja, melakukan kegiatan yang berguna dengan membaca kisah dari beberapa tokoh besar yang mempunyai peran penting. Hal ini dapat membuat Anda ikut termotivasi untuk beragam hal yang sempurna. Tidak hanya tokoh perjuangan kemerdekaan saja yang mempunyai peran penting dalam beragam macam hal. Yang berjuang dalam agama juga menjadi tokoh yang harus Anda ketahui dengan baik. Apalagi untuk beberapa orang yang belum mendapatkan pencerahan dari segi meneladani tokoh yang ada. Salah satunya adalah Kyai Haji Abdul Hamid yang dikenal dengan akhlak mulianya. simak juga tentang amalan Kyai Hamid Pasuruanketurunan Kyai Hamid PasuruanBiografi Kyai Haji Abdul Hamid Sebelum mengenal lebih banyak hal lagi mengenai keturunan Kyai Hamid Pasuruan. Maka, hal yang harus Anda kenali lebih dulu adalah ayahnya. Penting sekali halnya untuk tau beragam kisah menarik mengenai Kyai Hamid yang dipercaya sebagai wali Allah. Abdul Hamid bukan merupakan nama aslinya. Pria kelahiran bulan November ini juga bukan berasal dari Pasuruan. Memang benar halnya kalau ada banyak orang yang mengenalnya dengan nama belakang Pasuruan. Namun, bukan berarti ia adalah salah satu orang yang berasal dari Pasuruan. Nama ini dikenal dengan baik karena ada banyak kegiatan agama yang ia lakukan di tempat ini. Tentu saja, Kyai Hamid lahir di Jawa Tengah. Lebih tepatnya pada desa Dukuh Sumurkepel yang berlokasi di Desa Sumber Gerang. Ia lahir pada tanggal 22 November 1914 dimana Indonesia masih menjadi kekuasaan negara Belanda. Nama aslinya adalah Abdul Mu'thi yang merupakan putra dari pasangan terhormat. Banyak orang yang merasa segan dengan ayah dan juga ibunya. Keduanya merupakan bagian dari keluarga ulama. Ayahnya sendiri adalah Kyai Haji Abdullah bin Kyai Haji Umar. Lalu, ibunya sendiri adalah Nyai Raihanah binti Kyai Haji Shiddiq. Tentunya, tidak ada orang yang menyangka kalau ia akan tumbuh dewasa menjadi seseorang berakhlak mulia. Apalagi jika mengingat masa kecil yang terkenal akan kenakalannya. Ia juga mempunyai nama panggilan bedudul karena terlalu nakal. Banyak sekali orang yang ia isengi untuk mengisi waktu luang dimana semuanya adalah masyarakat Tionghoa. Bahkan, tidak jarang ia harus menyamar sebagai seorang wanita hanya untuk bersembunyi saja. Cerita menarik ini sangat penting untuk Anda baca sebelum tau beberapa keturunan kyai Hamid Pasuruan sendiri. Ia tidak hanya suka menganggu orang lainnya dalam beragam macam hal. Ia juga suka bermain dan tidak pernah berada di rumah. Kapanpun ada orang yang ingin bertemu dengan Abdul Mu'thi ini. Pastinya, tidak perlu datang ke rumahnya. Ia sudah pasti sedang bermain sepak bola atau layang-layang. Karena kenakalannya ini, pada usia 12 tahun, ia dikirim ke pesantren. Pondok pesantren Kasingan menjadi tempatnya untuk belajar agama dan mengurangi kenakalan. Lalu, pindah ke pesantren Tremas karena mempunyai kualitas yang lebih baik. Sekitar usia lima belas tahun, ia kemudian menunaikan ibadah haji karena diajak oleh kakeknya. Ia mendapatkan pengalaman berjumpa dengan Rasulullah sehingga kakeknya segera menjodohkannya dengan Nafisah. Perjodohan ini tidak langusng menikah. Ia masih melanjutkan banyak perjalanan agama dalam pesantren ini hingga mengisi pengajian. Ada total 12 tahun yang membuat pembelajaran agamanya tidak perlu diragukan. Kehidupan Pernikahan Kyai Hamid Pasuruan Saat memutuskan untuk menikahi Nafisah pada umur kedua puluh dua tahun, status Kyai Hamid sepenuhnya berubah. Tentu saja, meski keturunan Kyai Hamid Pasuruan masih belum ada, ia telah menjadi seorang kepala rumah tangga untuk istrinya. Kehidupan yang ia jalani bersama istrinya tentunya bukanlah hal yang mudah. Anda salah saat berpikir bahwa mereka akan hidup berkecukupan dan bahagia. Hal ini dikarenakan Mbah Hamid harus menghadapi kerasnya mencari nafkah untuk istrinya. Hal ini dapat Anda buktikan melalui suatu kejadian yang pastinya pernah terlintas di telinga Anda. Benar sekali, hal tersebut adalah mengayuh sepeda sejauh 30 kilometer setiap harinya. Jarak ini tentunya bukanlah jarak yang terbilang dekat. Sebaliknya, semua dari Anda tentunya akan merasa lelah saat menempuh jarak sejauh itu hanya dengan sepeda. Kyai hamid yang saat itu tinggal di rumah pamannya juga harus hidup jauh dari kemewahan. Hal ini dikarenakan yang ada hanya rumah yang sederhana dan hidup yang sederhana pula. Akan tetapi, ia tetap sabar dan tidak mengeluh. Selain ujian dari ekonomi, ada hal lain yang membuat tokoh dengan nama kecil bedudul ini harus tetap sabar. Benar sekali, hal tersebut adalah sikap istrinya pada dua tahun pernikahan yang tidak menurut. Istrinya kerap kali melawan dan bersikap yang tidak sepantasnya hingga akhirnya keturunan Kyai Hamid Pasuruan yang pertama lahir. Akan tetapi, ujian kembali datang saat anak pertamanya lahir ke dunia ini. Beberapa dari Anda tentunya mengetahui ujian yang dihadapi oleh tokoh ini. Jelas saja, hal ini dapat terjadi mengingat tokoh ini merupakan salah satu ulama terkenal dalam bidang agama. Inilah Keturunan Kyai Hamid Pasuruan Benar sekali, cobaan kali ini merupakan cobaan yang sangat berat mengingat tokoh dengan nama lahir Abdul Mu'thi ini harus merelakan anaknya. Benar sekali, anak pertama yang diberikan nama Anas ini meninggal dunia. Hal ini tentunya memberikan guncangan yang besar pula pada istrinya Nafisah. Ia terus merasa sedih hingga Kyai Hamid mengajaknya liburan ke Bali untuk melupakan rasa sedih. Akan tetapi, ujian yang sama kembali dihadapi oleh mereka saat merawat anak keduanya. Anak yang diberikan nama Zainab berpulang ke pangkuannya dalam usia yang baru beberapa bulan. Hal ini tentunya jauh lebih menyakitkan mengingat anak tersebut pernah mereka rawat. Akan tetapi, Kyai Hamid dengan tegarnya kembali merelakan dan menghibur istrinya dengan merencakan perjalanan liburan berdua. Hingga akhirnya saat ini, ia dikarunia lima putra dan satu putri yang mewarnai kehidupan rumah tangganya. Saat ini, hanya tersisa tiga yang masih hidup. Benar sekali, ketiga anak tersebut adalah H. Nu'man, H. Nasikh serta H. Idris. Menurut nereka, sosok ayahnya merupakan seseorang yang sangat sabar baik dalam mendidik dan memghadapi masalah yang terus berdatangan dalam hidup ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan pernyataan dari keturunan Kyai Hamid Pasuruan ini, mengenai ayahnya yang tidak pernah ringan tangan. Idris mengatakan bahwa Mbah Hamid tidak pernah sekalipun memukulnya meski dirinya sangat nakal. Akan tetapi, didikan yang tegas juga dilakukan agat mereka berada dalam jalan benar. simak juga tentang gus miek ceramah Beberapa hal yang ada sebelumnya merupakan hal yang harus Anda ketahui mengenai keturunan Kyai Hamid Pasuruan hingga biografinya secara singkat. Kami pastikan saat ini semua dari Anda tentunya telah mengetahui hal ini dengan baik, bukan?
YuraYunita, Jaz, dan KLA Project Siap Meriahkan Jazz Pantai Mei 3, 2018
kh hamid pasuruan. Nama KH. Hamid Pasuruan atau Mbah Hamid Pasuruan begitu melegenda dalam bab kewalian. Ia dikenal dengan sosok waliyullah yang mempunyai banyak karomah. Kediamannya menjadi tempat berlabuh untuk mencari berkah, baik berkah keilmuan atau doa, serta petuah keagamaan yang diharapkan menjadi obat/ pelipur hati dari gundah gulana. Sosok tersebut dikenal dengan Kiai Hamid Pasuruan. Pendahuluan Gus Mus berkata, “Kiai Hamid bukanlah Wali Tiban. Wali Tiban, kalau memang ada, tentulah kontroversial dalam masyarakat. Kiai Hamid tidaklah demikian. Beliau dianggap wali secara Muttafaq alaihi.” Tentang kedalaman agamanya Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Mukti Ali mengatakan, “Yang paling terkesan dalam diri Kiai Hamid adalah akhlaknya; penghargaannya kepada orang, kepada ilmu, kepada orang alim, ulama, dan juga tindak tanduknya.” Garis Keturunan Kiai Hamid Pasuruan dahulunya bernama Abdul Mu’thi. Ia dilahirkan pada 1914 M/1333 H di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang Jawa Tengah Ia merupakan putra dari pasangan Kiai Abdullah dan Nyai Roihanah. Kedua orang tuanya ini, nasabnya bersambung dengan Sayyid Syambu Lasem. Untuk nasab jalur ayahnya yaitu, Abdul Mu’thi ibn Abdullah ibn Umar ibn Arabi ibn Muhammad ibn Ahmad Jamal ibn Abdul Adzim ibn Sayyid Abdurrahman Eyang Syambu Lasem. Sedangkan untuk jalur ibunya, Nyai Roihanah binti Muhammad Shiddiq ibn Abdullah ibn Shalih ibn Asra ibn Barda’i ibn Syaikh Yusuf ibn Eyang Syambu Lasem. Baca juga… Mbah Syambu Lasem Cucu Joko Tingkir Ketika usai menunaikan ibadah haji bersama sang kakek Kiai Shiddiq, nama Abdul Mu’thi diganti menjadi Abdul Hamid, yang kemudian hari dikenal dengan Haji Abdul Hamid, lalu dikenal dengan nama Kiai Hamid Pasuruan, sebab ia hijrah ke Pasuruan Jawa Timur. Nama Mu’thi di kemudian hari diberikan kepada salah satu muridnya, ketika ia nyantri dan ikut berpartisipasi dalam mengajar di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi, adik dari Syaikh Mahfudz al-Termasi, yaitu Mukti Ali yang aslinya bernama Bujono. Oleh Kiai Hamid, nama Bujono diganti menjadi Mukti, sedangkan nama Ali yang ada di belakangnya adalah nama ayahnya. Ia termasuk tokoh berpengaruh di Indonesia, yaitu pernah menjadi Menteri Agama Republik Indonesia. Rihlah Ilmiah Semasa kecilnya Abdul Mu’thi dikenal sebagai anak yang nakal. Ia menjadi musuh bebuyutan China Lasem. Ia sangat tidak senang dengan orang China, sebab orang tuanya, Kiai Abdullah, suatu ketika kediamannya pernah diserang oleh orang China yang tidak suka dengannya. Namun, Allah melindungi hamba-Nya, sehingga serangan tersebut tidak membuahkan hasil kecuali beban malu yang ditanggung oleh orang China. Mereka menjadi takut dan mundur. Mereka berbeda dengan sebelumnya, ketika zaman Tumenggung Widyaningrat dan Ki sangat tidak suka dengan orang China. Masa kecilnya memang dikenal nakal jika dihadapkan dengan orang China. Ia pernah ngumpet di Kelenteng, tempat peribadatan orang China. Ketika orang China merayakan Cap Go Meh yang melintasi kediaman abahnya. Tindakan ini dinilai tidak sopan, sehingga ia meminta teman-temannya untuk melempari orang China tersebut dengan comberan air. Hal ini membuat orang China Lasem marah besar. Ia juga pernah memukul orang China, dan lain-lain. Karena dianggap nakal dan selalu membikin onar bagi orang China, maka ia diburu China Lasem untuk dikasih ganjaran. Ia merasa takut, sehingga akhirnya ia pergi ke tempat yang jauh, di kediaman kakeknya, Kiai Shiddiq yang ada di Jember. Ketika datang, ia langsung diajak oleh sang kakek menunaikan ibadah haji. Baca juga... Mbah Ma’shum Lasem, Ulama Kharismatik Yang Terlupakan Berganti Nama Usai Menunaikan ibadah haji bersama kakeknya Kiai Shiddiq, Mu’thi namanya diganti menjadi Abdul Hamid Haji Abdul Hamid. Diharapkan dengan ibadah haji dan mengganti nama ini, kenakalan Mu’thi akan semakin berkurang, namun kenyataannya belum. Ketika ia melihat orang China yang merokok dengan congkak, maka ia tidak mau berfikir panjang, ia langsung menempeleng orang tersebut. Kasus ini membuat geger orang China, sehingga harus melibatkan pihak Hindia Belanda. Dari peristiwa ini, akhirnya Kiai Abdullah memerintahkan Abdul Hamid untuk mondok di Pesantren Termas yang diasuh oleh Kiai Dimyathi, adik dari Syaikh Mahfudz al-Termasi. Sebelum nyantri di Pesantren Termas, ia sempat dipondokkan abahnya di Pesantren Kasingan yang diasuh oleh Kiai Khalil ibn Harun, adik sekaligus murid dari Kiai Umar ibn Harun al-Sarani. Ketika mondok di Pesantren Termas, Abdul Hamid terbilang santri yang menonjol, sehingga ia dekat dengan pengasuhnya. Selama nyantri di pesantren ini, ia pernah dipercaya sebagai lurah pesantren. Di antara sahabat seperguruannya di Pesantren Termas adalah Kiai Ali Maksum dan Gus Hamid putra Kiai Dimyathi. Selama kurang lebih 12 tahun, ia mengeyam pendidikan di pesantren ini, sehingga keilmuannnya menjadi ta’ammuq mendalam. Selain belajar kepada Kiai Abdullah, Kiai Khalil Kasingan, dan Kiai Dimyathi, Abdul Hamid juga pernah belajar kepada Kiai Baidlowi al-Lasemi, Kiai Ma’shum Ahmad, dan lain-lain. Ia sering tirakatan seperti menjalani puasa sunnah dan membaca amalan wirid tertentu sehingga membuatnya semakin dekat dengan Rab-nya. Ia menjadi hamba pilihan-Nya. Ia dikenal sebagai waliyullah yang kesuwur masyhur/ terkenal, bukan hanya di tanah Jawa, namun sampai ke luar Jawa. Salah satu waliyullah luar Jawa yang beristifadah dengannya adalah Abah Guru Sekumpul yang berasal dari Martapura. Membina Rumah Tangga Ketika Kiai Hamid masih nyantri di Pesantren Termas, ia sudah diincar oleh Kiai Ahmad Qusyairi untuk diambil menjadi menantunya. Mulanya, ia hendak dijodohkan dengan putrinya yang ketiga, Nyai Maryam, namun karena ia merasa belum siap untuk menikah dan masih ingin melanjutkan belajarnya, maka pernikahan itupun akhirnya tidak jadi. Baca juga... Menapak Jejak Kiai Hamid Baidhowi Lasem Kiai Ahmad Qusyairi sangat mengharapkan Kiai Hamid menjadi bagian keluarganya. Ia menemukan aura kelak Kiai Hamid akan menjadi seorang ulama yang berpengaruh. Karena sang putri yang ketiga sudah dinikahkan dengan Kiai Ahmad ibn Sahal, maka iapun dinikahkan dengan adiknya Nyai Maryam, yaitu Nyai Nafisah. Pernikahan tersebut berlangsung pada 12 September 1940 yang dihadiri oleh beberapa ulama Lasem, salah satunya adalah Kiai Ma’shum pernikahan tersebut, Kiai Hamid dikaruniai enam anak, yaitu Muhammad Anas, Zainab, Muhammad Nu’man, Muhammad Nasih, Muhammad, dan Muhammad Idris. Semenjak Kiai Hamid menjadi menantu Kiai Ahmad Qusyairi, maka ia diminta sang mertua untuk bertempat tinggal di Pasuruan. Sang mertua ini juga asalnya orang Lasem, namun karena diambil menantu oleh ulama Pasuruan, yaitu Kiai Yasin, yang merupakan salah seorang ulama terpandang di Pasuruan, maka iapun hijrah ke tempat yang diminta oleh mertuanya. Saat awal-awal berumah tangga, Kiai Hamid sebagaimana kebanyakan orang, yang dirundung masalah ekonomi. Namun, dalam menyikapi masalah ini, ia begitu santai. Yang penting bagi manusia adalah berusaha, jangan sampai berpangku tangan, mengharapkan pemberian orang lain. Ia mulanya bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti berjualan sarung, kelapa, kedelai, dan bahkan pernah menjadi seorang broker sepeda. Sang Waliyullah Ketika pengasuh Pesantren Salafiyah Pasuruan, Kiai Abdullah ibn Yasin wafat 1951 M, telah terjadi sebuah kesepakatan keluarga besar Pesantren Salafiyah untuk mengangkat Kiai Hamid sebagai guru besar pesantren dengan wadifahnya sebagai pengajar, sedangkan yang menjadi nadzir adalah Kiai Aqib. Namun, karena Kiai Aqib merasa masih muda bila dibandingkan dengan Kiai Hamid, maka akhirnya ia menyerahkan urusan pondok kepada Kiai Hamid, termasuk menjadi imam di Masjid Jami’. Dengan demikian, maka boleh dikata bahwa Kiai Hamid adalah pengasuh pesantren secara de facto. Baca juga… Al-Ghazali Al-Shaghir Dari Semarang Ketika Pesantren Salafiyah diasuh oleh Kiai Abdullah ibn Yasin, santri yang belajar dengannya hanya sedikit. Banyak yang tidak krasan mondok di sana, sebab Kiai Abdullah ini dikenal galak dan terlalu ketat. Ia mengharamkan memelihara rambut dan wiridannya panjang-panjang. Hal ini berbeda dengan Kiai Hamid yang dikenal halus dan lentur dalam menghadapi santri. Ia sangat bersabar dalam menghadapi sebuah masalah, termasuk jika ada santrinya yang nakal. Dengan sikapnya yang seperti ini, lama-kelamaan, banyak santri yang ingin beristifadah untuk mengaji kepadanya. Jumlahnya semakin membludak. Mulanya ketika masih awal-awal bertempat tinggal di Pasuruan, Kiai Hamid dikenal biasa-biasa saja. Mereka sering menyebutnya Haji Hamid. Namun, setelah berkiprah penuh di pesantren, dirinya semakin istiqamah dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Allah telah menunjukkan tanda-tanda kewaliannya meskipun ia sendiri dengan semaksimal mungkin berusaha untuk menutupinya. Sinarnya semakin terang dan memancar. Tanda Kewalian Tanda-tanda kewalian yang terpancar dalam diri Kiai Hamid dirasakan oleh Habib Ja’far. Menjelang wafatnya Habib Ja’far 1945 M, cahaya kewalian Kiai Hamid semakin memancar. Saat ia hendak bertamu di kediaman Habib Ja’far, maka sang tuan rumah kelihatan sangat sibuk sekali, sehingga sang istri merasa keheranan karena biasanya Habib Ja’far tidak sesibuk ini. Saat sudah sampai di kediamannya, Habib Ja’far memberikan Kitab Ihyâ Ulûmidin karya al-Ghazali disuruh untuk membacanya. Bukan itu saja, Habib Ja’far juga menyuruhnya untuk menjadi imam Salat Maghrib dan hari, pancaran kewalian Kiai Hamid semakin ketara, sehingga terjadilah dalam dirinya sebuah karomah yang disaksikan oleh banyak orang. Ia mengetahui kejadian sebelum diketahui oleh kebanyakan orang. Dengan maziyah atau linuweh yang dimiliknya ini, maka tidak mengherankan jika kediamannya menjadi tempat berlabuh dari berbagai kalangan untuk mencari keberkahan. Menurut Kiai Maimoen Zubair bahwa Kiai Hamid bisa mencapai derajat tinggi, salah satu sebabnya adalah birrul walidainnya kepada kedua orang tuanya. Semua anggota keluarganya ia tata dengan begitu indahnya. Kembali ke Rahmatullah Kiai Hamid dikenal sebagai sosok yang sabar. Ketika ia terkena sebuah penyakit yang menimpa dirinya, ia berusaha untuk menyimpannya sendiri supaya tidak diketahui oleh orang lain, termasuk keluarganya sendiri. Baca juga… Kyai Munawir Krapyak Ketika penyakit Kiai Hamid sudah semakin parah, akhirnya ia dibawa ke rumah sakit untuk dirawat secara intens. Ketika dokter yang menanganinya melihat tidak ada harapan bagi kesembuhan Kiai Hamid, akhirnya ia menyarankan agar Kiai Hamid dibawa pulang ke Pasuruan. Sampai di rumah, kondisi kesehatan Kiai Hamid semakin mempritahatinkan. Waktu itu, Kiai Ahmad Shiddiq, sang paman ikut serta dalam menungguinya meminta kepada Nyai Nafisah agar mandi dan mengambil air wudu, kemudian memakai pakaian yang bagus sebagai isyarat bahwa ia sudah rela jika Kiai Hamid akan meninggalkannya. Usulan tersebut dilaksanakan Nyai Nafisah. Tidak lama kemudian, Kiai Hamid kembali ke Rahmatullah dengan menyebut asma-Nya, Allah, Allah, Allah. Kiai Hamid kembali ke Rahmatullah pada Sabtu dini hari tanggal 9 Rabiul Awal 1403 H, bertepatan dengan 25 Desember 1982 M. Jasadnya dimakamkan di kompleks makam sebelah barat Masjid Jami’ Al-Anwar Pasuruan. Pesarean ini diperuntukkan bagi kalangan kiai dan habaib, seperti makam guru beliau, Habib Ja’far ibn Syaikhan Assegaf, Kiai Achmad Qusyairi, dan Kiai Achmad Ibn Sahal. Makam Kiai Hamid sampai sekarang ramai diziarahi orang yang berasal dari berbagai daerah. Semoga kita mendapatkan keluberan berkahnya. Amîn yâ Rabbal Alamîn. [] Oleh Amirul UlumReferensi Kebangkitan Ulama Rembang Sumbangsih untuk Nusantara & Dunia Islam karya Amirul Ulum
ProfDr H Abd Halim Soebahar MA. MEMPELAJARI keluarga KH Achmad Siddiq, akan memperolah banyak 'ibrah (pelajaran berharga). KH Achmad Siddiq nama kecilnya adalah Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad Legi, 24 Januari 1926 (10 Rajab 1344), atau tujuh hari sebelum kelahiran Jam ' iyyah Nahdlatul Ulama, wafat pada hari Rabu, 23
Biografi KH Abdul Hamid © KH. Abdul hamid Lahir pada tahun 1333 H, di Desa Sumber Girang, Lasem, Rembang, Jawa 25 Desember 1985. Pendidikan Pesantren Talangsari, Jember; Pesantren Kasingan, Rembang, Jateng; Pesantren Termas, Pacitan, Jatim. Pengabdian pengasuh Pesantren Salafiyah, Pasuruan Kesabarannya memang diakui tidak hanya oleh para santri, tapi juga oleh keluarga dan masyarakat serta umat islam yang pernah mengenalnya. Sangat jarang ia marah, baik kepada santri maupun kepada anak dan istrinya. Kesabaran Kiai Hamid di hari tua, khususnya setelah menikah, sebenarnya kontras dengan sifat kerasnya di masa muda. “Kiai Hamid dulu sangat keras,” kata Kiai Hasan Abdillah. Kiai Hamid lahir di Sumber Girang, sebuah desa di Lasem, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1333 H. Ia adalah anak ketiga dari tujuh belas bersaudara, lima di antaranya saudara seibu. Kini, di antara ke 12 saudara kandungnya, tinggal dua orang yang masih hidup, yaitu Kiai Abdur Rahim, Lasem, dan Halimah. Sedang dari lima saudara seibunya, tiga orang masih hidup, yaitu Marhamah, Maimanah dan Nashriyah, ketiganya di Pasuruan. Hamid dibesarkan di tengah keluarga santri. Ayahnya, Kiai umar, adaiah seorang ulama di Lasem, dan ibunya adalah anak Kiai Shiddiq, juga ulama di Lasem dan meninggal di Jember, Jawa Timur. Masa Kecil Kiai Shiddiq adalah ayah KH. Machfudz Shiddiq, tokoh NU, dan KH. Ahmad Shiddiq, mantan Ro’is Am NU. Keluarga Hamid memang memiliki keterikatan yang sangat kuat dengan dunia pesantren. Sebagaimana saudara-saudaranya yang lain, Hamid sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi kiai. Anak keempat itu mula-mula belajar membaca al-Quran dari ayahnya. Pada umur sembilan tahun, ayahnya mulai mengajarinya ilmu fiqh dasar. Tiga tahun kemudian, cucu kesayangan itu mulai pisah dari orangtua, untuk menimba ilmu di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember, Jawa Timur. Konon, demikian penuturan Kiai Hasan Abdillah, Kiai Hamid sangat disayang baik oleh ayah maupun kakeknya. Semasih kecil, sudah tampak tanda-tanda bahwa ia bakal menjadi wali dan ulama besar. “Pada usia enam tahun, ia sudah bertemu dengan Rasulullah,” katanya. Dalam kepercayaan yang berkembang di kalangan warga NU, khususnya kaum sufi, Rasulullah walau telah wafat sekali waktu menemui orang-orang tertentu, khususnya para wali. Bukan dalam mimpi saja, tapi secara nyata. Pertemuan dengan Rasul menjadi semacam legitimasi bagi kewalian seseorang. Kiai Hamid mulai mengaji fiqh dari ayahnya dan para ulama di Lasem. Pada usia 12 tahun, ia mulai berkelana. Mula-mula ia belajar di pesantren kakeknya, KH. Shiddiq, di Talangsari, Jember. Tiga tahun kemudian ia diajak kakeknya untuk pergi haji yang pertama kali bersama keluarga, paman-paman serta bibi-bibinya. Tak lama kemudian dia pindah ke pesantren di Kasingan, Rembang. Di desa itu dan desa-desa sekitarnya, ia belajar fiqh, hadits, tafsir dan lain lain. Pada usia 18 tahun, ia pindah lagi ke Termas, Pacitan, Jawa Timur. Konon, seperti dituturkan anak bungsunya yang kini menggantikannya sebagai pengasuh Pesantren Salafiyah, H. Idris, “Pesantren itu sudah cukup maju untuk ukuran zamannya, dengan administrasi yang cukup rapi. Pesantren yang diasuh Kiai Dimyathi itu telah melahirkan banyak ulama terkemuka, antara lain KH Ali Ma’shum, mantan Ro’is Am NU.” Menurut Idris, inilah pesantren yang telah banyak berperan dalam pembentukan bobot keilmuan Hamid. Di sini ia juga belajar berbagai ilmu keislaman. Sepulang dari pesantren itu, ia tinggal di Pasuruan, bersama orangtuanya. Di sini pun semangat keilmuannya tak pernah Padam. Dengan tekun, setiap hari ia mengikuti pengajian Habib Ja’far, ulama besar di Pasuruan saat itu, tentang ilmu tasawwuf. Menjadi Blantik Hamid menikah pada usia 22 tahun dengan sepupunya sendiri, Nyai H. Nafisah, putri KH Ahmad Qusyairi. Pasangan ini dikarunia enam anak, satu di antaranya putri. Kini tinggal tiga orang yang masih hidup, yaitu H. Nu’man, H. Nasikh dan H. Idris. Hamid menjalani masa-masa awal kehidupan berkeluarganya tidak dengan mudah. Selama beberapa tahun ia harus hidup bersama mertuanya di rumah yang jauh dari mewah. Untuk menghidupi keluarganya, tiap hari ia mengayuh sepeda sejauh 30 km pulang pergi, sebagai blantik broker sepeda. Sebab, kata ldris, pasar sepeda waktu itu ada di desa Porong, Pasuruan, 30 km ke arah barat Kotamadya Pasuruan. Kesabarannya bersama juga diuji. Hasan Abdillah menuturkan, Nafisah yang dikawinkan orangtuanya selama dua tahun tidak patut tidak mau akur. Namun ia menghadapinya dengan tabah. Kematian bayi pertama, Anas, telah mengantar mendung di rumah keluarga muda itu. Terutama bagi sang istri Nafisah yang begitu gundah, sehingga Hamid merasa perlu mengajak istrinya itu ke Bali, sebagai pelipur lara. Sekali lagi Nafisah dirundung kesusahan yang amat sangat setelah bayinya yang kedua, Zainab, meninggal dunia pula, padahal umurnya baru beberapa bulan. Lagi-lagi kiai yang bijak itu membawanya bertamasya ke tempat lain. KH. Hasan Abdillah, adik istri Kiai Hamid, menuturkan, seperti layaknya keluarga, Kiai Hamid pernah tidak disapa oleh istrinya selama empat tahun. Tapi, tak pernah sekalipun terdengar keluhan darinya. Bahkan sedemikian rupa ia dapat menutupinya sehingga tak ada orang lain yang mengetanuinya. “Uwong tuo kapan ndak digudo karo anak Utowo keluarga, ndak endang munggah derajate Orangtua kalau tidak pernah mendapat cobaan dari anak atau keluarga, ia tidak lekas naik derajatnya”, katanya suatu kali mengenai ulah seorang anaknya yang agak merepotkan. Kesabaran beliau juga diterapkan dalam mendidik anak-anaknya. Menut Idris, tidak pernah mendapat marah, apalagi pukulan dari ayahnya. Menurut ldris, ayahnya lebih banyak memberikan pendidikan lewat keteladanan. Nasihat sangat jarang diberikan. Akan tetapi, untuk hal-hal yang sangat prinsip, shalat misalnya, Hamid sangat tegas. Merupakan keharusan bagi anak-anaknya untuk bangun pada saat fajar menyingsing, guna menunaikan shalat subuh, meski seringkali orang lain yang disuruh membangunkan mereka, Hamid juga memberi pengajaran membaca al-Quran dan fiqih pada anak-anaknya di masa kecil. Namun, begitu mereka menginjak remaja, Hamid lebih suka menyerahkan anak-anaknya ke pesantren lain. Bukan hanya kepada anak-anak, tapi juga istrinya, Hamid memberi pengajaran. Waktunya tidak pasti. Kitab yang diajarkan pun tidak pasti. Bahkan, ia mengajar tidak secara berurutan dari bab satu ke bab berikutnya. Pendeknya, ia seperti asal comot kitab, lalu dibuka, dan diajarkan pada istrinya. Dan lebih banyak, kata Idris, yang diajarkan adalah kitab-kitab mengenai akhlak, seperti Bidayah al-Hidayah karya Imam Ghazali, “Tampaknya yang lebih ditekankan adalah amalan, dan bukan ilmunya itu sendiri,” jelasnya. Amalan dari kitab itu pula yang ditekankan Kiai Hamid di Pesantren salafiyah. Kalau pesantren-pesantren tertentu dikenal dengan spesialisasinya dalam bidang-bidang ilmu tertentu – misainya alat gramatika bahasa Arab atau fiqh, maka salafiyah menonjol sebagai suatu lembaga untuk mencetak perilaku seorang santri yang baik. Di sini, Kiai Hamid mewajibkan para santrinya shalat berjamaah lima waktu. Sementara jadwal kegiatan pesantren lebih banyak diisi dengan kegiatan wirid yang hampir memenuhi jam aktif. Semuanya harus diikuti oleh seluruh santri. Kiai Hamid sendiri, tidak banyak mengajar, kecuali kepada santri-santri tertentu yang dipilihnya sendiri. Selain itu, khususnya di masa-masa akhir kehidupannya, ia hanya mengajar seminggu sekali, untuk umum. Mushalla pesantren dan pelatarannya setiap Ahad selalu penuh oleh pengunjung untuk mengikuti pengajian selepas salat subuh ini. Mereka tidak hanya datang dari Pasuruan, tapi juga kota-kota Malang, Jember, bahkan Banyuwangi, termasuk Walikota Malang waktu itu. Yang diajarkan adalah kitab Bidayah al-Hidayah karya al-Ghazali. Konon, dalam setiap pengajian, ia hanya membaca beberapa baris dari kitab itu. Selebihnya adalah cerita-cerita tentang ulama-ulama masa lalu sebagai teladan. Tak jarang, air matanya mengucur deras ketika bercerita. Disuguhi Kulit Roti Kiai Hamid memang sosok ulama sufi, pengagum imam Al-Ghazali dengan kitab-kitabnya lhya Ulum ad-Din dan Bidayah al-Hidayah. Tapi, corak kesufian Kiai Hamid bukanlah yang menolak dunia sama sekali. Ia, konon, memang selalu menolak diberi mobil Mercedez, tapi ia mau menumpanginya. Bangunan rumah dan perabotan-perabotannya cukup baik, meski tidak terkesan mewah. Ia suka berpakaian dan bersorban yang serba putih. Cara berpakaian maupun penampilannya selalu terlihat rapi, tidak kedodoran. Pilihan pakaian yang dipakai juga tidak bisa dibilang berkualitas rendah. “Berpakaianlah yang rapi dan baik. Biar saja kamu di sangka orang kaya. Siapa tahu anggapan itu merupakan doa bagimu,” katanya suatu kali kepada seorang santrinya. Namun, Kiai Hamid bukanlah orang yang suka mengumbar nafsu. Justru, kata idris, ia selalu berusaha melawan nafsu. Hasan Abdillah bercerita, suatu kali Hamid berniat untuk mengekang nafsunya dengan tidak makan nasi tirakat. Tetapi, istrinya tidak tahu itu. Kepadanya lalu disuguhkan roti. Untuk menyenangkannya, Hamid memakan roti itu, tapi tidak semuanya, melainkan kulitnya saja. “O, rupanya dia suka kulit roti,” pikir istrinya. Esoknya ia membeli roti dalam jumlah yang cukup besar, lalu menyuguhkan kepada suaminya kulitnya saja. Kiai Hamid tertawa. “Aku bukan penggemar kulit roti. Kalau aku memakannya kemarin, itu karena aku bertirakat,” ujarnya. Konon, berkali-kali Kiai Hamid ditawari mobil Mercedez oleh H. Abdul Hamid, orang kaya di Malang. Tapi, ia selalu menolaknya dengan halus. Dan untuk tidak membuatnya kecewa, Hamid mengatakan, ia akan menghubunginya sewaktu-waktu membutuhkan mobil itu. Kiai Hamid memang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain, suatu sikap yang terbentuk dari ajaran idkhalus surur menyenangkan orang lain seperti dianjurkan Nabi. Misalnya, jika bertamu dan sedang berpuasa sunnah, ia selalu dapat menyembunyikannya kepada tuan rumah, sehingga ia tidak merasa kecewa. Selain itu, ia selalu mendatangi undangan, di manapun dan oleh siapapun. Selain terbentuk oleh ajaran idkhalus surur, sikap sosial Kiai Hamid terbentuk oleh suatu ajaran yang dipahami secara sederhana mengenai kepedulian sosial islam terhadap kaum dlu’afa yang diwujudkan dalam bentuk pemberian sedekah. Memang karikaturis – meminjam istilah Abdurrahman Wahid tentang sifatnya. Tapi, Kiai Hamid memang bukan seorang ahli ekonomi yang berpikir secara lebih makro. Walau begitu, kita dapat memperkirakan, sikap sosial Kiai Hamid bukan hanya sekadar refleksi dari motivasi keagamaan yang “egoistis”, dalam arti hanya untuk mendapat pahala, dan kemudian merasa lepas dari kewajiban. Kita mungkin dapat melihat, betapa ajaran sosial islam itu sudah membentuk tanggung jawab sosial dalam dirinya meski tidak tuntas. Ajaran Islam, tanggung jawab sosial mula-mula harus diterapkan kepada keluarga terdekat, kemudian tetangga paling dekat dan seterusnya. Urut-urutan prioritas demikian tampak pada Kiai Hamid. Kepada tetangga terdekat yang tidak mampu, konon ia juga memberikan bantuannya secara rutin, terutama bila mereka sedang mempunyai hajat, apakah itu untuk mengawinkan atau mengkhitan anaknya. H. Misykat yang mengabdi padanya hingga ia meninggal, bercerita bahwa bila ada tetangga yang sedang punya hajat, Kiai Hamid memberi uang RP. plus 10 kg. beras. Islam mengajarkan, hari raya merupakan hari di mana umat Islam dianjurkan bergembira sebagai rasa syukur setelah menunaikan lbadah puasa sebulan penuh. Menjelang hari raya, sebagai layaknya seorang ulama, Kiai Hamid tidak menerima hadiah dan zakat fitri. Pages 1 2 3
HadratusSyekh KH Abdul Hamid Pasuruan adalah salah satu ulama yang berguru kepada Kiai Hasan Sepuh. Kiai Mutawakkil mengungkapkan, Kiai Hamid rutin ke Genggong ketika usia Kiai Hasan Sepuh sekitar 110 tahun. "Setiap malam Rabu, Kiai Hamid ke Genggong untuk berguru kepada Kiai Sepuh. Hanya berdua.
Pasuruan, – Penggurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan menggelar Konferensi Cabang Konfercab ke – IX. Acara ini berlangsung selama dua hari, Sabtu dan Minggu 1-2 Februari 2020 di Pesantren Terpadu Bayt Al Hikmah, Bugulkidul, Kota hasil Konfercab ke – IX ini, KH Nailur Rohman atau yang akrab disapa Gus Amak, cucu Mbah KH Abdul Hamid Pasuruan terpilih secara aklamasi menjadi Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan Masa Khidmat 2020 – muda NU Pasuruan yang dikenal multitalenta ini, dipilih secara aklamasi oleh ahlul halli wal aqdi ahwa yang berjumlah sebanyak 6 Kiai Amak, dalam acara Konfercab yang dihadiri sekitar 200 peserta tersebut, tim ahwa juga memilih KH Abdul Halim Mas’ud sebagai Rois Syuriyah PCNU Kota seusai acara, Kiai Amak mengatakan bahwa kedepan ia akan fokus pada penguatan organisasi dan konsolidasi. Serta akan berkolaborasi menjalin ke mitraan dengan semua pihak.“Selain itu kami akan memantapkan akidah Ahlus Sunnah Wal Jamaah Aswaja terutama kepada para penggurus di tingkat ranting. Serta akan melakukan pendekatan kepada para milineal, karena saat ini eranya milineal,” paparnya. ajo/gus.
Selainitu ada Bupati Pasuruan, Irsyad Yusuf yang menjabat sebagai Wakabid Kebanseran (Kasatkorwil Banser Jatim). Ia merupakan keturunan muassis NU, KH Bisri Syamsuri. Selain itu ada Wakabid Dakwah dan Pesantren (Rijalul Ansor), Nailur Rahman yang merupakan Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Pasuruan, sekaligus cucu KH Abdul Hamid Pasuruan.
KH Achmad Qusyairi, lahir di dukuh Sumbergirang, Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada 11 Sya’ban 1311 H atau bertepatan pada 17 Februari 1894 M. Beliau adalah sosok ulama yang begitu alim. Masyarakat Pasuruan dan Glenmore Banyuwangi pun mengakuinya. Seorang wali Allah yang menjadi pembimbing umat, dan bak pohon rindang yang lebat buahnya. Setiap ada orang yang sowan kepada beliau pasti ada ilmu yang mengalir deras dari setiap perkataannya, sama sekali tidak medit pelit ilmu. Setelah berkontribusi terhadap dakwah Islam di Pasuruan, kala itu Kiai Achmad Qusyairi sempat menjadi buronan tentara Jepang lantaran pengaruhnya begitu kuat menggerakkan massa Islam dan diwacanakan akan dicalonkan sebagai Adipati Bupati Basuruan. Dari kabar tersebut menjadi alasan tentara Jepang mencari rekam jejak Kiai Achmad. Lalu Kiai Achmad untuk menghindari pencarian tersebut, beliau sempat tinggal di pedalaman pedesaan Kawasan Jember, hingga pada akhirnya menetap di Dusun Sepanjang Wetan, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi, yang dahulu masih bernama Kecamatan Kalibaru. “Oreng gun norok akompol ben Kiaeh Achmad Qusyairi, tekka’a tak ngajih, apa pole ngajih ka model epon engak Kiaeh Qusyairi, aroa padeh bheih bik ngajih seseorang walau hanya sekadar ikut berkumpul dengan Kiai Acmad Qusyairi, apa lagi mengaji dengan orang yang modelnya seperti Kiai Acmad Qusyairi, meskipun tidak mengaji kepadanya, itu sama saja dengan mengaji” tutur KH Hadi bin Achmad Qusyairi dalam Haul KH. Achmad Qusyairi ke-47 di Glenmore. Begitu juga KH. Abdul Hamid, Pasuruan, menantu KH. Acmad Qusyairi. Orang hanya sekedar norok buntek mengikuti kemana Kiai Abdul Hamid pergi meskipun tidak mengaji selayaknya di pesantren, hal itu bisa dikatakan mengaji. Sebab kenapa? Tingkah laku kedua ulama tersebut baik Kiai Achmad Qusyairi dan Kiai Abdul Hamid adalah suatu pelajaran dan mengandung banyak ilmu yang begitu besar manfaatnya. Ceramah KH Hadi bin Achmad Qusyairi dalam acara Haul KH Achmad Qusyairi ke-47 di Glenmore, Channel Youtube Santri Milenial Indonesia “Haul KH Ahmad Qusyaeri Ke-47 di Ponpes As-Shiddiqi”, dipublikasikan pada 19 Juni 2019. Dalam historis pendidikannya, KH Achmad Qusyairi pernah nyantri kepada Syaikhona Kholil al-Bangkalani, Madura. Tidak diragukan lagi bagaimana kualitas keilmuan Kiai Kholil yang selama ini dikenal sebagai wali Allah dan guru para Kiai besar di tanah Jawa dan Madura. Maka dari itu, tidak heran jika Kiai Achmad Qusyairi pun menjadi sosok yang begitu alim dan teruji keilmuannya karena barokah para gurunya. Selain terkenal alim dan derajat ilmunya yang tinggi, Kiai Achmad juga dikenal sebagai ahli ibadah, mengawal sunnah Nabi, ahli ilmu falak astronomi dan juga sebagai seorang sufi. Hamid Ahmad, KH Achmad Qusyairi bin Shiddiq, Pasuruan Lembaga Informasi dan Studi Islam L’Islam, Juni 2017, hal 56. Kiai Qusyairi belajar ilmu falak semasa di Masjidil Haram kepada Syekh Muhammad Hasan Asy’ari bin Abdurrahman al-Baweani al-Fasuruani, seorang ahli ilmu falak waktu itu. Dinamakan al-Baweani karena beliau berasal dari pulau kecil bernama Bawean yang terletak di sebelah utara Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Terkadang nama beliau tidak ditambahkan al-Fasuruani. Burhanuddin Asnawi, Ulama Bawean dan Jejaring Keilmuan Nusantara Abad XIX – XX, Gresik LBC Press, September 2015, 45-46. Kiai Muhammad Hasan Asy’ari wafat dan dimakamkan di tanah Pasuruan. Maka dari itu Kiai Achmad Qusyairi juga ahli ilmu falak putra Indonesia dengan karyanya yang berjudul “Al-Jadawilul Falakiyah”. Kini naskah teks asli kitab Al-Jadawilul Falakiyah karangan Syekh Achmad Qusyairi berada di Leiden University, Belanda, Wawancara KH Musthafa Helmy, cucu KH Achmad Qusyairi, Agustus 2020. Kiai Achmad menjuluki Kiai Muhammad Hasan Asy’ari dengan julukan al-allamah al-falaki asy-syahir orang yang sangat alim, ahli falak dan terkenal. Beliau juga menyebutkan bahwa Syekh Asy’ari merupakan akhiru ahlir rashd ahli pengintai bulan yang terakhir. Begitulah pengakuan Kiai Achmad terhadap gurunya yang memang begitu ahli dalam bidangnya. Apa-apa yang kerap kali diamalkan oleh Kiai Achmad Qusyairi dalam keseharian hidupnya baik itu dalam segi kebiasaan dan hal lainnya juga ditiru dan diistiqomahkan oleh Kiai Hasan. Kiai Hasan Abdillah juga menerapkan sunnah-sunnah Nabi dalam hidupnya. Seperti halnya mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan. Sama seperti halnya Kiai Achmad Qusyairi, dalam karya Hamid Ahmad dikatakan bahwa beliau bisa sembuh dari penyakit yang divonis oleh dokter cukup berat, berkat menerapkan sunnah Nabi Muhammad saw dengan mengkonsumsi sedikit garam sebelum dan sesudah makan. Tidak hanya soal tata cara makan, banyak sunnah-sunnah Nabi yang kerap kali diterapkan oleh Kiai Achmad Qusyairi juga ditiru oleh Kiai Hasan Abdillah, bahkan begitu istiqomah. Dalam buku Hamid Ahmad, KH Ahmad Qusyairi bin Shiddiq Pecinta Sejati Sunnah Nabi, tercatat bahwa ada putra Kiai Achmad yang melanjutkan sunnah seperti yang beliau lakukan dengan konsisten hingga akhir hidupnya, ia adalah KH Hasan Abdillah salah satu putra Kiai Achmad.Kebiasaan yang lain juga diceritakan oleh putra sulung Kiai Hasan Abdillah, sebagai berikut “Kebiasaan beliau KH. Hasan Abdillah itu, makan bersama, memulai makan dengan garam dan ditutup dengan garam, kalau ke kamar kecil selalu pakai peci, sholat ya berjama’ah, dan yang paling beliau tidak suka adalah berhutang, anak-anaknya semua dilarang berhutang, saya dulu dimarahin waktu kredit rumah sama beliau, terus saya dulu itu juga mau bikin bank berkreditan rakyat BBR sama teman-teman, buh! dimarahi sama abah, tidak dibolehin” tutur Kiai Musthafa Helmy. KH Musthafa Helmy, wawancara, Glenmore, 29 Agustus 2020. Adapun saksi yang turut mengakui kealiman dan keilmuan Kiai Hasan yang tidak jauh dari Kiai Achmad Qusyairi yakni saudara Kiai Hasan sendiri “Elmoh, akhlak Syekh Achmad Qusyairi, noron ka Kiaeh Hasan Abdillah se lebih shohih neka kera-kera parak antarah sangan polo Ilmu, akhlak, Syekh Achmad Qusyairi, nurun ke Kiai Hasan Abdillah yang lebih shohih kira-kira mendekati antara sembilan puluh,” tutur Kiai Hadi Achmad di acara haul Kiai Achmad Qusyairi. Ali Mursyid Azisi, alumnus Pondok Pesantren Minhajut Thullab, Glenmore, Banyuwangi, Jawa Timur
KBRN Pontianak : Mengisi waktu setelah Konferwil PWNU Kalbar dinyatakan diundur oleh PBNU, Andi Syafrani melakukan wisata dan ziarah ke Provinsi Jawa Timur (10/7/2022). Bersama istri dan anak-anaknya, Syafrani melakukan perjalanan ke Jawa Timur, yakni ke Malang, Pasuruan, hingga Jombang. Awalnya
Pasuruan, NU Online Jatim KH Muhammad Nailurrochman atau Gus Amak menyampaikan testimoni sosok KH Abdul Hamid Pasuruan saat Haul Masayikh bulanan yang dilaksanakan Layanan Digital untuk Nahdliyin Kamis 30/12/2021. Gus Amak merupakan salah satu cucu dari KH Abdul Hamid Pasuruan. Dalam kesempatan itu, Gus Amak menjelaskan bahwa auliya merupakan orang-orang yang berhasil mencintai Allah sekaligus dicintai Allah. “Kita untuk menunjukkan bukti cinta pada Allah saja masih sulit, apalagi mendapat respons cinta dari Allah. Maka orang-orang yang sudah dicintai Allah ini adalah sebuah maqom yang luar biasa dan butuh perjuangan mendapatkannya,” tutur Gus Amak. Lebih lanjut Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PCNU Kota Pasuruan tersebut mengatakan, Kiai Hamid merupakan sosok yang sederhana. Hal ini berdasarkan pengakuan salah satu santri Kiai Hamid, KH Ihsan Ketintang Malang. “Saya pernah sowan ke beliau Kiai Ihsan. Beliau itu buka puasa hanya dengan makan telur setengah matang, kurma, dan kopi. Saat tanya mengapa tidak berbuka dengan nasi, beliau menjawab seperti itulah cara berbuka Kiai Hamid,” ujar Kepala Pesantren Bayt Al-Hikmah Kota Pasuruan tersebut. Menurut Gus Amak, sebagaimana dituliskan dalam buku “Percik-Percik Keteladanan Kiai Hamid” karangan KH Hamid Ahmad, ciri khas dari kakeknya itu merupakan seorang yang sangat tawadhu serta alim baik secara ilmu syari`at, maupun kanuragan. “Saya menyebut dua hal ini bersandingan karena kadang seseorang yang alim itu sulit tawadhu. Ini suatu pelajaran penting bahwa tawadhu dan kehebatan itu bisa berjalan beriringan,” katanya. Disampaikannya, kitab karangan Kiai Hamid yaitu Sullam At-Taufiq telah mendapat pujian dari KH Sahal Mahfudz. Kemampuan mengarang nadham dalam kitab, merepresentasikan keilmuan Kiai Hamid dalam menguasai kitab Juman kitab balaghah. Selain itu, keistimewaan lainnya adalah keistiqamahan untuk shalat berjamaah dan mengkhatamkan Al-Qur`an setiap sepekan sekali. Hal tersebut diceritakan langsung oleh KH Idris Hamid, ayah Gus Amak. “Keistiqamahan lainnya adalah membaca surah Al-fatihah 100 kali sehari. Saya mendapat cerita dari santri beliau yang langsung mendapat ijazah ini bahwasanya yang melanggengkan membacanya, maka akan menemukan keajaiban-keajaiban yang tersembunyi,” terang Gus Amak. Sebagai tamu undangan, Gus Amak mengaku sangat mendukung adanya kegiatan haul masayikh bulanan ini. Sebab, haul yang disesuaikan bulan wafat para ulama sekaligus mengulas biografinya menjadikan masyarakat semakin mengenal kiai-kiai nusantara.
ZCjUCE9. 56 269 105 274 482 232 69 28 263
cucu kh abdul hamid pasuruan